Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H. saat menjadi pembicara dalam serial diskusi Peradaban Paramadina, Kamis (2/6/2022).
Hal itu diutarakan Jimly dalam acara serial diskusi Peradaban Paramadina “Nurcholish Madjid dan Indonesia”, sekaligus peluncuran “Center For Nurcholish Madjid Studies” kerja sama Universitas Paramadina dan Institut Peradaban yang dipimpin Prof. Salim Haji Said, Kamis (2/6/2022).
Jimly menekankan dirinya banyak bergaul dalam berbagai kegiatan diskusi maupun pengajian reboan yang diselenggarakan Nurcholis Madjid, sehingga Ia cukup dekat dengan sosok yang akrab disapa Cak Nur itu. Namun Ia tidak memungkiri bahwa banyak cendekiawan senior lain yang lebih dekat dengan sosok Cak Nur, di antaranya yang ikut hadir dalam acara tersebut: Salim Haji Said, La Ode Kamaluddin, Dipo Alam, hingga Taufik Abdullah.
“Tapi, lumayan pergaulan saya dengan Cak Nur. Salah satu segmen dari pengajian Cak Nur itu, setiap bulan Ramadan bertahun-tahun pasti kami mengadakan diskusi sesudah tarawih sampai subuh. Setiap tahun, minimal empat kali selama bulan puasa. Yang hadir itu, untuk saudara ketahui ada Gus Dur. Selain Cak Nur ya Gus Dur, kemudian ada Quraisy Sihab, Alwi Sihab,” tegas Jimly.
Dalam pengalamannya, Jimly melihat bahwa Cak Nur tidak pernah banyak bicara soal hukum, berbeda jika berbicara soal etika. Sebab hukum selalu bicara benar dan salah. Alhasil, kerap berujung pada pembahasan siapa masuk neraka dan siapa yang masuk surga.
“Kalau bicara etika, ini urusan baik buruk. Semua agama itu mengajarkan etika, nilai baik buruk, itu kata Cak Nur. Tapi tidak semua agama mengajarkan ajaran hukum. Ya, paling banyak tiga atau empat agama. Selain Islam, ada Yahudi, Hindu dan kalau di Kristen, itu Advent. Karena mereka (Kristen Advent) percaya kepada old testament (perjanjian lama) yang banyak mengajarkan sistem hukum yang kaku,” paparnya.
Namun agama selain itu seperti Budha dan Konghucu tidak mengajarkan hukum. Pemeluk agama-agama tersebut hanya diajarkan soal etika. Oleh karena itu, Jimly menilai bahwa dialog peradaban tidak bisa dengan pendekatan hukum benar salah. Harus dengan etika.
“Maka kalau kita baca pikiran-pikiran Cak Nur, semua dia etika-kan. Demokrasi dilihatnya dari segi etika. Keadilan begitu, keterbukaan demikian juga,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Beberapa kali Cak Nur kerap menyebut sila pertama dan kedua sebagai tolok ukur kemajuan dan kemunduran sebuah peradaban. Dalam sila pertama terdapat kata “ketuhanan” kemudian pada sila kedua terdapat “keadilan, kemanusiaan yang adil dan beradab”.
“Maka keimanan, keadilan, dan keadaban itu triadic relation. Satu dengan yang lain menentukan maju mundurnya peradaban. Kira-kira begitu. Semua ini dikaji, dikembangkan, dan dipahami oleh Cak Nur dalam kaitannya dengan sistem etika,” ujar Jimly.
Di sisi lain, Jimly menyebut bahwa pemikiran Cak Nur sedikit masih abstrak sehingga demi menyesuaikan kebutuhan zaman diperlukan penjabaran lebih luas oleh para penerus. Tidak lupa diiringi ide-ide pembaharuan pemikiran yang harus dikawal.
Melihat itu, Jimly menyambut baik hadirnya “Center For Nurcholish Madjid Studies”, termasuk Universitas Paramadina yang terus menerus menyelenggarakan serial diskusi tentang Cak Nur sehingga menjadi simbol pemikiran.
Sebisa mungkin upaya penguatan pemikiran Cak Nur oleh para penerusnya dapat terhindar dari logika pasar bebas politik dan bisnis. Hal itu harus dijauhi sebab nantinya akan jadi pragmatis, terlebih jika ke depannya muncul calon presiden alumni dari Universitas Paramadina, sehingga akan semakin terjebak dalam pragmatisme kekuasaan.
“Apalagi pengurus-pengurusnya pebisnis misalnya begitu, kita akan kehilangan kekuatan sejarah Paramadina sebagai pusat pemikiran. Yang bilamana perlu agak sedikit melampaui kelaziman. Itu yang dilakukan Cak Nur. Maka saya senang sekali dengan Paramadina ini. Kalau bisa kita akan bantu mengembangkan dirinya menjadi pusat ide-ide,” paparnya.
Selain itu tegas Jimly, Universitas Paramadina jangan juga terjebak dalam tuntutan medioker atau kondisi yang biasa saja, hanya karena tuntutan pasar bebas baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi.
“Syukur-syukur satu hari nanti, Paramadina ini bukan hanya menjadi pusat kajian tokoh, melainkan juga studi pemikiran tokoh. Karena di Indonesia dalam pusat studi pemikiran tokoh itu kering. Nggak ada,” tegas Jimly Asshiddiqie.
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-6629005/jimly-asshiddiqie-raih-anugerah-mahakarya-penulis-buku-konstitusi-dari-muri


