“Bang, ini Prabowo ngajak Oligarki perang,” itu ujar seorang karibku. Percaya?
Yang jelas, tenang tetapi pasti, Presiden Prabowo kian menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat kecil dan kaum menengah bawah.
Tunggakan nelayan/petani kredit dibebaskan, upah minimum buruh dinaikkan, gaji guru dinaikkan ataupun PIK2 kemungkinan ditinjau ulang.
Mungkin saja Oligarki tersenggol hingga bereaksi. Itu nggak soal, oligarki juga orang, dapat juga tahu yang elok, etis dan estetis.
Permasalahannya bagaimana seni dan kemampuan Presiden Prabowo mengelola dinamika itu semua. Itu perlu kepekaannya baca timing, prioritas, perhitungan, nyali-keberanian dan keyakinan.
Apakah hasilnya betul demi rakyat, sangat bergantung pada paham yg dianutnya. Maka wajar bila kita semua perduli bagaimana cara pandang Prabowo. Latar belakangnya sangat berpengaruh.
Prabowo kiranya menyelami arti perjuangan, sabar dan cermat mempertimbangkan momentum.
Itu terlatih saat hidup berpindah-pindah bersama keluarga di LN, dikejar penguasa.
Mengalir di darahnya nilai-nilai sosialisme yg gandrung pada keadilan. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, Prabowo cenderung Keynesian, sekaligus sepandangan dengan Santiago Consensus, bukannya Washington Consensus. Pasar tidak dilepas begitu saja, tetapi peran pemerintah kian penting dalam memberdayakan rakyat sesegeranya, namun korupsi dan salah urus BUMN dikendalikan.
Itu mengingatkan orang pada pemikiran Bung Hatta yg cenderung pada keadilan-pemerataan. “Bagi dulu kue nya sekalipun kecil,” itu sekali waktu kutipan pernyataan beliau (Majalah Prisma, akhir 1970-an).
Selain hal di atas, mungkin saja Prabowo mewarisi ageman dari ayahnya, Prof. Soemitro (tokoh PSI): pengabdian dan perlawanan. Artinya gigih memperjuangkan keyakinannya untuk rakyat, bangsa dan negara, tetapi ketika membentur dan ditekan: lawan!
Tetapi sang Presiden tidak hidup dalam vacum. Berbagai target dan tujuannya banyak dan bertingkat-tingkat. Medan perjuangannya kali ini baru baginya. Betapapun, ia new kid in the block.
Kepercayaan rakyat —bukan sebatas pendukung atau fans club— itu modal. Itu perlu terus dipupuk dan diperluas.
Namun, bukan hanya itu. Untuk membangun dan mempercepat pembangunan di negeri yg luas ini, sangat perlu kalangan pengusaha ataupun entreprener yg tahan uji menempuh resiko, termasuk pengusaha besar. Nasionalisme mereka ini perlu terus dibangun kembali.
Di sinilah mungkin relevansi keberadaan “oligarki”. Mereka itu berdaya besar. Oligarki bukan wujud sesungguhnya, melainkan derivatif dari wujud aslinya: pengusaha besar. Bahkan, awalnya adalah entreprener biasa dengan modal terbatas, hingga terus berkembang berkat bantuan dari kita juga sebagai kawan, buruh atau pasar. Jadi masih mungkin disadarkan.
Lingkungan kepemimpinan nasional yg buruk dan mental banyak pejabat kita yg safety player dewasa ini kian berjalin, berkelindan dengan klas pengusaha besar, yg kemudian bertindak terlalu jauh, menjelma menjadi oligarki. Mengatur-atur kerja birokrasi dan lembaga pemerintahan, hingga mendistori hukum dan perundangan-udangan. Itu di antara peran eksesifnya.
Pada batas itu, mereka, oligarki, pejabat atau wakil rakyat —sadar tidak sadar— sudah berkhianat pada sumpahnya atau pada rakyat banyak, tanah tempatnya tumbuh sejak masih janin. Pesan pendiri perusahaan, partai dan patronnya, ataupun Tri Brata maupun Sapta Marga sudah lama sekadar lamat-lamat bergaung saja.
Agaknya, Presiden Prabowo memilih peran anti-tesa terhadap itu semua. Tidak gampang! Kita semua menunggu hasil sintesanya. Hasilnya akan mengenai kita semua, baik-buruknya.
Jadi, Prabowo sudah menabuh “genderang perang”? Kalau melihat pembawaan selain perbawanya, tidak demikian. Sebagai prajurit TNI, pilihan dan langkahnya cukup punya kalkulasi.
Dalam banyak kesempatan, dengan pilihan diksinya di hadapan rakyat, tokoh-tokoh yg lebih tua atau berpengaruh, Prabowo mungkin cukup bisa disebut ‘njawani’. Meskipun ia cukup lama hidup di lingkungan Barat, Prabowo di penggal usianya kini lebih santun dan tahu ‘tempat’.
Untuk merebut hati rakyat dan dukungan yg luas, yg diperlukannya bukan hanya pasukannya, tetapi juga memperbanyak pasukan kawan.
Ia cukup paham hakikat dan makna “Sivis pacem para bellum”. Pak Presiden tentu perlu memupuk kekuatan dulu, bersiap bila ingin menghadirkan kehidupan yg damai dan stabil. Ia mampu membedakan mana perang yg harus dimenangkan atau mana pertempuran yg kadang perlu sesekali direlakan untuk kalah dan kapan perlu dimenangkan. Rakyatnya itu modalnya sekaligus pasukannya. Yang mau Ikut gabung, masuk sebagai pasukan kawan.
Akankah, oligarki menjadi pasukan kawan? Logisnya begitu, kecuali mereka tetap ingin jadi pengkhianat. Bukankah mereka ingin hidup terus, going concern, dengan badan usaha yg dirintisnya atau pendirinya dulu?
Hakikatnya mereka itu tak lain adalah pengusaha besar yg kenyang bergelut dengan resiko, serta dulunya gandrung pada keadilan juga demi bisa hidup dan berkembang.
Di hati kecil nya, mereka cenderung juga pada sesuatu yg elok, memenuhi aspek etis dan estetis. Perbawa dan pembawaan Prabowo sekali lagi menentukan untuk menghidupkan itu semua, agar tumbuh patriotisme kaum usahawan besar.
Apa lagi PR penting Presiden Prabowo? Dirinya sendiri! Ia harus mengatasi kecendrungan yg biasa menghinggapi Top Leader pada umumnya, terlebih yg dominan, “over confident” dan kaya pengalaman.
Penyakit itu (diidentikasi oleh Daniel Kahneman, nobelis tahun 2002), mulai dari confirmation bias, anchoring bias, affect bias ataupun risk bias. Ringkasnya, kesalahan tindak dan kebijakan akibat terlalu optimis dan percaya diri.
Staf dan pembantu utama yg di sekitarnya dipilih yang setia dan sudah lama dikenal, sekalipun belum tentu cakap atau tepat untuk posisinya.
Mereka itu “takut” bersuara berbeda, bahkan satu suara, serba mendukung pendapat pemimpinnya — dilanda gejala “group-think” menurut Prof. Chris Argyris, dari Yale University. Sekali lagi, gejala ini tumbuh subur di sekitar pemimpin yg berpengaruh, dominan dan “over optimis”.
Kita berharap sosok presiden kali ini —yg kian nyata keberpihakannya pada bangsa dan rakyat jelata— terus sehat dan rendah hati serta selalu waspada, termasuk pada diri sendiri. Khususnya dilindungi Allah, Tuhan Yg Maha Kuasa.
Presiden Prabowo sudah lama menunggu momen dan kedudukannya kali ini. Ia tentulah ingin dikenal berjasa dan sebagai orang baik oleh rakyatnya. Tetapi ia tidak bergerak dalam lingkungan vacuum.
dzS/12’ 2024


